Merasa Tidak Ada yang Mengerti Makna Tulisanmu?

Entah kenapa yang paling saya sering dengar dari beberapa penulis amatir–termasuk saya dulu–adalah tentang bagaimana tidak ada pembaca yang mengerti makna tulisan mereka. Hal ini biasanya terjadi pada penulis-penulis yang memasukkan banyak teori dan simbolisme rumit dalam karya mereka. Biasanya mereka akan langsung merasa seperti penulis non-mainstream yang karyanya hanya bisa dimaknai oleh mereka-mereka yang jenius.

Saya akan jelaskan dua kemungkinan kenapa pembaca tidak bisa mengerti makna tulisan Anda–yang sebenarnya toh itu bukan berarti Anda sebegitu keren dan dewanya:

1. Dekonstruksi makna

Derrida, seorang filsafat kajian sastra, pernah mengatakan “Pengarang telah mati,” yang berarti bahwa ketika tulisan Anda telah ada di tangan pembaca, mereka akan “mengkoding” kisah Anda dengan pemahaman mereka masing-masing. Bisa jadi ada pembaca yang bisa dengan tepat memahami makna tulisan Anda, tapi bisa jadi ada (banyak) yang tidak. Yang perlu diingat oleh para penulis adalah bahwa interpretasi itu sifatnya luas. A tidak melulu menjadi B–kecuali Anda menuliskannya sejelas, “Maka A adalah B.” Jika Anda tidak menuliskannya sejelas itu dan masih bermain simbolisme, percayalah, interpretasi terhadap karya Anda akan jarang ada yang bisa 100% sesuai dengan niatan Anda menulis karya tersebut. Pengarang telah mati. Begitu karya tersebut telah sampai di masyarakat, merekalah yang berhak menginterpretasikan karya Anda dengan pemahaman masing-masing. Anda boleh mendebat dan mempertahankan opini, tapi harus legowo kalau karya Anda disalahmengerti oleh pembaca.

2. Jangan menyulitkan pembaca

A.S. Laksana dan Kurt Vonnegut, dua penulis beda negara, punya satu kesamaan. Mereka sama-sama memberi nasihat bahwa jika menulis dan menyampaikan gagasan, sebisa mungkin jangan menyulitkan pemikiran pembaca. Tulis dengan jelas apa yang ingin Anda sampaikan dalam cerita, tidak perlu menulis dengan kata-kata bermakna ganda, karena hal itu bisa dimaknai lain oleh pembaca. Kalau Anda memang sengaja menulis dengan simbolisme dan metafora, maka terimalah risiko kalau tulisan Anda mungkin tidak akan sampai utuh seperti yang Anda mau di pikiran pembaca.

Jadi, siapa sebenarnya yang keliru? Si penerima pesan yang terlalu bodoh, atau si pemberi pesan yang terlalu angkuh?

Komentar

Postingan Populer