Fiksi Sebagai Simbol Versus Tanda
Sumire, seorang tokoh dalam novel Haruki Murakami, Sputnik
Sweetheart, pernah bertanya seperti ini, “Apa bedanya simbol dan tanda?”
Si tokoh utama kemudian menjawab, “Simbol berlaku satu arah. Kaisar
Jepang merupakan simbol Jepang, tapi bukan representasi Jepang secara
keseluruhan. Sementara tanda berlaku dua arah. Jika Kaisar Jepang adalah
tanda Jepang, maka otomatis seluruh Jepang adalah dirinya.”
Ini
hal yang sangat menarik untuk direnungkan. Beberapa waktu lalu saya
terlibat diskusi dengan beberapa orang kenalan penulis mengenai “fact
vs. fiction”. Ada yang berpendapat bahwa fiksi itu bukan kenyataan, jadi
tak perlulah penulis mengacu pada kenyataan. Kalau yang ada dalam
imajinasi kita semua laki-laki itu macho, maka silakan tulis laki-laki
macho itu dalam fiksi Anda, persetan dengan kenyataan bahwa 60%
laki-laki itu tidak semacho model iklan susu kebugaran pria. Lalu ada
orang yang berargumen bahwa banyak orang lebih memercayai fiksi daripada
fakta, dan jika penulis mempunyai pemikiran bahwa fiksi tidak boleh
berlandaskan pada fakta, hal tersebut hanya berakibat menimbulkan
distorsi pada persepsi masyarakat.
Saya setengah setuju dengan
kedua pendapat. Fiksi bukanlah kenyataan, tapi seringkali merupakan
bentukan ideal dari harapan si penulis. Apa yang ada di dalam tulisan
seorang penulis adalah gambaran ideal mengenai sistem kemasyarakatan dan
gugatan terhadap struktur yang berlaku di dunia nyata. Di dunia nyata,
misal, lebih dari 50% cowok macho seperti model bukanlah seorang
straight, maka di novel boleh saja penulis protes dengan mengatakan
“semua” cowok macho itu suka pada perempuan seksi. Itu hak, dan secara
tidak langsung, opini penulis terhadap situasi yang ada.
Tapi saya
juga setuju, bahwa banyak orang yang lebih percaya pada fiksi dibanding
dunia nyata. Karena itu ada masanya gadis-gadis remaja tergila-gila
pada vampir dan manusia setengah serigala. Karena itu banyak orang
percaya bahwa perempuan canggung dan tidak menarik pasti bisa
mendapatkan laki-laki seganteng Edward Cullen.
Siapa yang salah? Penulis? Atau pembaca?
Menurut
saya, mencatut apa yang dikatakan Murakami melalui Sumire soal simbol
dan tanda, yang salah adalah perbedaan pandangan penulis dan pembaca
dalam mengapresiasi kisah. Penulis biasanya menjadikan fiksi sebagai
simbol, sampel kemungkinan acak dari apa yang terjadi di masyarakat–ada,
lho, perempuan tidak menarik yang dipacari dan menikah dengan laki-laki
ganteng. Penulis melihat dan mengabadikan pengalaman serta imajinasinya
ke dalam tulisan. Maka tulisan itu adalah simbol dari pengalaman
penulis, tapi tidak merepresentasikan pengalaman manusia secara general.
Sementara
itu, pembaca seringkali menjadikan fiksi sebagai tanda bagi masyarakat
ideal yang berlaku secara general. Bahwa setidaknya pasti ada cukup
banyak laki-laki yang mau memacari perempuan yang tidak menarik–cukup
banyak untuk jadi pacar pembaca. Simbol dari penulis diterjemahkan
sebagai tanda bagi pembaca, diaplikasikan secara general, dan menjadi
dunia pemahaman pembaca. Karena itu kita mengenal adanya pergeseran
stereotip pada masa-masa tertentu.
Fiksi bisa mengubah pola pikir
masyarakat, ya, karena itu penulis sebaiknya berhati-hati dengan apa
yang dia tulis. Di sisi lain, pembaca memang bisa terhanyut oleh fiksi,
tapi sebaiknya bisa lebih memahami bahwa fiksi bukanlah kenyataan secara
general–kalaupun kenyataan, setidaknya itu hanya berlaku pada sebagian
kecil populasi manusia.
Komentar
Posting Komentar